BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menengok
keadaan saat ini, betapa banyak orang yang melakukan perbuatan yang amat
tercela ini. Bahkan hampir kita dapati dalam semua lapisan masyarakat, dari
masyarakat yang paling bawah, menengah sampai kalangan atas. Khalayak pun
kemudian menggolongkan para pelaku korupsi ini menjadi berkelas-kelas. Mulai
koruptor kelas teri sampai kelas kakap. Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin
pernah atau bahkan banyak kita jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk
membelanjakan sesuatu, kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan
pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang
tersebut, meskipun hanya seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau
dengan cara memanipulasi nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak
tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai milyaran bahkan triliyunan.
Mengulas
masalah korupsi di pandangan Islam dan dampaknya bagi bangsa dan negara
khususnya Indonesia sangat menarik. Oleh karena itu, kami mengambil materi ini
untuk dikaji lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
korupsi di pandangan islam ?
2. Bagaimana
dampak korupsi bagi bangsa dan negara khususnya Indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
korupsi di pandangan islam;
2. Mengetahui
dampak korupsi bagi bangsa dan negara khususnya Indonesia.
BAB
II
ISI
A.
Landasan Teori
Dari
‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu
pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih
dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa
pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar
berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seolah-olah aku
melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang
engkau tugaskan." Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada
apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan
demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)." Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara
kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa
(seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan
kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka
tidak boleh.”
Hadits
ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim
Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415. Abu
Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab al Aqdhiyah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits
no. 3110. Imam Ahmad dalam
Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin
Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi Radhiyallahu 'anhu di atas.
Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.
Adiy
Bin Amirah R.A merupakan sahabat mulia, dengan nama lengkapnya ‘Adiy bin
‘Amirah bin Farwah bin Zurarah bin al Arqam, Abu Zurarah al Kindi. Beliau hanya
sedikit meriwayatkan hadits Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di
antaranya adalah hadits ini. Beliau wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah
Radhiyallahu 'anhu. Ada pula yang berpendapat selain itu. Wallahu a’lam bish
shawab.
B.
Pembahasan
Kata
ghululan (غُلُولاً) dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam lafadz Abu
Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa
pengertian, di antaranya bermakna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja
ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat. Ibnul Katsir menerangkan, kata al ghulul (الْغُلُولُ),
pada asalnya bermakna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri
sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan. Kemudian, kata ini
digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara
sembunyi-sembunyi. Jadi, kata ghulul (الْغُلُولُ) di atas, secara umum
digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau
tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa seizin
pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang,
perbuatan ini disebut korupsi.
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang
yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil
sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan
atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya,
meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar
tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia
lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia
akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat.
Ketika
kata-kata ancaman tersebut didengar oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang
orang ini merupakan satu di antara para petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas
dengan suatu pekerjaan, hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara
keseluruhan, sedikit maupun banyak kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam. Apa yang diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan
yang ditahan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mereka tidak boleh
mengambilnya.
Hadits
di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta
di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang
menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah
Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Barangsiapa yang kami tugaskan dengan
suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia
ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)".
Asy
Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram)
bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah
ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu
adalah ghulul (korupsi).
Dalam
hadits tersebut maupun di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyampaikan secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada
dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang
menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan
zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat
menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan
tidak menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya.
Sangat
jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al
Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
shahih.
Di dalam Kitabullah, di
antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan
harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan
perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu …" [Ali
Imran: 161].
Dalam
ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua
nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan
perang.
Menurut
penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ayat ini diturunkan pada saat
(setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil
rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa
mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam terbebas dari tuduhan tersebut.
Ibnu
Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian
amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya. Hal itu, karena
berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah
ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.
Mengenai
besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam
ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat
(dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu …”. Ibnu Katsir mengatakan,"Di
dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.”
Selain
itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta
manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala,
sebagaimana dalam firmanNya :
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" [al Baqarah/2:188]
Juga firmanNya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" [an Nisaa`/4 : 29].
Adapun
larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di
antaranya hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu dan hadits Buraidah
Radhiyallahu 'anhu di atas.
Tidaklah
Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat
(bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak
luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya :
1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa
hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161
surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan
dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda :
"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya.
Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia
akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil)
seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka
(sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka
(kambing itu pun) bersuara …”
2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api
neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"…(karena) sesungguhnya ghulul
(korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya".
3.
Orang yang mati dalam
keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau
terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam :
"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya
(mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga.
Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang".
4.
Allah tidak menerima
shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Shalat tidak akan diterima tanpa
bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)".
5.
Harta hasil korupsi
adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi
terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam :
"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu
baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan
orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul.
Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan
kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian
kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang
beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu,"
kemudian beliau (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan
seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan
tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi
dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?".
Dampak korupsi bagi bangsa dan
negara khususnya di Indonesia diantaranya :
1.
Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius
terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan
tata pemerintahan yang baik (good governance)
dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan
legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan
kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan
korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan
masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.
2.
Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan
ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor
private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari
pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup,
dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang
menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah
birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan
menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana
korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan
perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan
sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor
publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat
yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah
kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang
akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan
syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi
juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah. Para pakar ekonomi
memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi
di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang
berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman
modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke
dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika
yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia,
seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta
sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi
infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas
Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal
dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari
jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian
pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu
teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu
faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa
pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat
dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan
mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa
depan.
3.
Kesejahteraan umum Negara
Korupsi politis ada di banyak
negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis
berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya
rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang
melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME).
Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada
perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
4.
Korupsi mengurangi pendapatan dari sektor publik dan
meningkatkan pembelanjaan pemerintah untuk sektor publik.
Korupsi juga memberikan kontribusi
pada nilai defisit fiskal yang besar, meningkatkan income inequality,
dikarenakan korupsi membedakan kesempatan individu dalam posisi tertentu untuk
mendapatkan keuntungan dari aktivitas pemerintah pada biaya yang sesungguhnya
ditanggung oleh masyarakat Ada indikasi yang kuat, bahwa meningkatnya perubahan
pada distribusi pendapatan terutama di negara negara yang sebelumnya memakaii
sistem ekonomi terpusat disebabkan oleh korupsi, terutama pada proses
privatisasi perusahaan Negara
5.
Korupsi
mendistorsi mekanisme pasar dan alokasi sumber daya
6.
Korupsi
mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam bentuk
peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan
dilakukan dalam pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan
kebijakan, misalnya, pada perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan
sebagainya, malah akan mendorong terjadinya inefisiensi.
7.
Korupsi
mendistorsi insentif seseorang, dan seharusnya melakukan kegiatan yang
produktif menjadi keinginan untuk merealisasikan peluang korupsi dan pada
akhimya menyumbangkan negatif value added.
8.
Korupsi
menjadi bagian dari welfare cost memperbesar biaya produksi, dan selanjutnya
memperbesar biaya yang harus dibayar oleh konsumen dan masyarakat (dalam kasus
pajak), sehingga secara keseluruhan berakibat pada kesejahteraan masyarakat
yang turun.
9.
Korupsi mereduksi peran fundamental pemerintah
10.
Penerapan
dan pembuatan kontrak, proteksi, pemberian property rights dan sebagainya. Pada
akhirnya hal ini akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi yang
dicapai.
11.
Korupsi
mengurangi legitimasi dari peran pasar pada perekonomian, dan juga proses
demokrasi. Kasus seperti ini sangat terlihat pada negara yang sedang mengalami
masa transisi, baik dari tipe perekonomian yang sentralistik ke perekonomian
yang lebih terbuka atau pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih
demokratis, sebagaimana terjadi dalam kasus Indonesia.
12.
Korupsi memperbesar angka kemiskinan
Selain dikarenakan program-program
pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak mencapai sasaran, korupsi juga
mengurangi potensi pendapatan yang mungkin diterima oleh si miskin. Perusahaan
perusahaan kecil adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran korupsi dalam
bentuk pungutan tak resmi (pungutan liar). Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa
mencapai hampir dua puluh persen dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan ini amat mengkhawatirkan, dikarenakan pada negara negara berkembang
seperti Indonesia, perusahaan kecil (UKM adalah mesin pertumbuhan karena
perannya yang banyak menycrap tenaga kerja).
13.
Korupsi Mengurangi Nilai Investasi
Korupsi membuat sejumlah investor
kurang percaya untuk menanamklanmodalnya di Indonesia dan lebih memilih
menginvestasikannya ke negara-negara yang lebih aman seperti Cina dan India.
Sebagai konsekuensinya, mengurangi pencapaian actual growth dari nilai
potential growth yang lebih tinggi. Berkurangnya nilai investasi ini diduga
berasal dari tingginya biaya yang harus dikeluarkan dari yang seharusnya. ini
berdampak pada menurunnya growth yang dicapai. Studi didasarkan atas analisa
fungsi produksi dimana growthadalah fungsi dari investasi.
14.
Korupsi menurunkan Foreign Direct Investment, dikarenakan efek korupsi yang
sama dengan efek pajak.
15.
Korupsi Mengurangi Pengeluaran pada Bidang
Pendidikan dan Kesehatan
Akibat korupsi pendapatan pemerintah
akan terpangkas bahkan lebih dari 50%, sebagai contoh kasus dugaan korupsi
Presiden Soeharto yang tidak kunjung kelar yang di sinyalir menggelapkan uang
negara sekitar 1,7 triliun. Agar pengeluaran pengeluaran pemerintah tidak
defisit maka di lakukan pengurangan pengeluaran pemerintah.
16.
Korupsi mengurangi pengeluaran untuk biaya operasi
dan perawatan dari infrastruktur
17.
Korupsi
menurunkan produktivitas dari investasi publik dan infrastruktur suatu Negara
18.
Korupsi menurunkan pendapatan pajak
Gayus Tambunan, seorang pegawai
golongan 3A, yang menggelapkan pajak negara sekitar Rp 26 miliar. Dengan
demikian pendapatan pemerintah dari sektor pendidikan akan berkurang Rp 26
miliar, itu hanya kasus gayus belum termasuk kasus makelar pajak lainnya.
1 komentar:
CASINO RANKS 2021 - Casinos - Mapyro
Results 1 - 20 포항 출장샵 of 976 — Find Casinos and 익산 출장마사지 Gaming 아산 출장안마 Locations 서산 출장안마 near you 충청북도 출장안마 from 3500 Casinos around the world.
EmoticonEmoticon