Basis pokok
konstitusionalisme adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di
antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkaitan dengan
negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga negara masyarakat politik
agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui
pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara (Andrews, 1968). Jika
kesepakatan itu runtuh , maka runtuh pula legatimasi kekuasaan negara yang
bersangkutan dan pada gilirannya dapat terjadi civil war atau perang sipil,
atau dapat pula revolusi. Dalam sejarah perkembangan negara di dunia peristiwa
tersebut terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika Serikat tahun 1776, di
Rusia tahun 1917 bahkan di Indonesia terjadi pada tahun 1945, 1965 dan 1998.
Konsensus yang menjamin
tegaknya konstitusionalisme di zaman modern dewasa ini pada umumnya dipahami
berdasar pada tiga elemen kesepakatan atau konsensus, sebagai berikut:
1. Kesepakatan
tentang tujuan atau cita-cita bersama.
2. Kesepakatan
tentang the rule law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara.
(the basis of government)
3. Kesepakatan
tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the
form of institusions and procedures)
C. Konstitusi Indonesia
1. Pengantar
Dalam proses reformasi hokum dewasa ini
berbagai kajian ilmiah tentang UUD 1945, banyak yang melontarkan ide intuk
melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Memang amandemen tidak dimaksudkan unuk
mengganti sama sekali UUD 1945, akan tetapi merupakan prosedur penyempurnaan
terhadap UUD 1945 tanpa harus langsung mengubah UUD-nya itu sendiri, amandemen
lebih merupakan perlengkapan dan rincian yang dijadikan lampiran otentik bagi
UUD tersebut (Mahfud, 1999:64). Dengan sendirinya amandemen dilakukan dengan
melakukan berbagai perubahan pada pasal-pasal maupun memberikan
tambahan-tambahan.
Ide tentang amandeman itu didasarkan
pada suatu kenyataan sejarah selama masa Orde Lama dan Orde Baru, bahwa
penerapan terhadap pasal-pasal UUD memiliki sifat “multi interpretable” atau
kata lain memiliki banyak arti sehingga mengakibatkan adanya sentralisasi
kekuasaan terutama kepada presiden. Karena latar belakang politik inilah maka
Orde Baru berupaya untuk melestarikan UUD 1945 bahkan UUD 1945 seakan-akan
bersifat keramat yang tidak dapat diganggu gugat.
Amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan
oleh bangsa Indonesia sejak tahun 1999, di mana amandemen pertama dilakukan
dengan memberikan tambahan dan perubahan terhadap pasal 9 UUD 1945. Kemudian amandemen
kedua dilakukan pada tahun 2000, amandemen ketiga dilakukan pada tahun 2001,
dan amandemen terakhir dilakukan pada tahun 2002 dan disahkan pada tanggal 10
Agustus 2002. UUD 1945 hasil amandemen 2002 dirumuskan dengan melibatkan
sebanyak-banyaknya partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan politik,
sehingga diharapkan struktur kelembagaan negara yang lebih demokratis ini akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Hukum Dasar Tertulis (Undang-Undang
Dasar)
Hukum dasar meliputi dua macam yaitu,
hukum dasar tertulis (Undang-Undang Dasar) dan hukum tidak tertulis (convensi).
Oleh karena itu sifatnya yang tertulis, maka Undang-Undang Dasar itu rumusnya
tertulis dan tidak mudah berubah. Sacara umum menurut E.C.S. Wade dalam bukunya
Constitutional Law, Undang-Undang Dasar menurut sifat dan fungsinya adalah
suatu naskah yang memaparkan kerangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan
tersebut.
Jadi pada prinsipnya mekanisme dan dasar
dari setiap sistem pemerintahan diatur dalam Undang-Undang Dasar. Bagi mereka
yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai suatu
organisasi kekuasaan, maka Undang-Undang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga
atau sekumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan tersebut dibagi antara
Badan Legislatif , Eksekutif dan Badan Yudikatif.
Undang-Undang Dasar menentukan cara-cara
bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama
lain. Undang-Undang Dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu
negara (Budiardjo, 1981:95,96)
Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar
1945 disebutkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 bersifat singkat dan supel.
Undang-Undang Dasar 1945 hanya memiliki 37 pasal, adapun pasal-pasal lain hanya
memuat aturan tambahan. Hal ini mengandung makna:
1. Telah
cukup jikalau Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya
membuat garis-garis besar instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain
penyelenggara negara untuk menyelenggarkan negara, untuk menyelenggarakan
kehidupan negara dan kesejahteraan sosial.
2. Sifat
yang supel (elastic) dimaksudkan bahwa kita senantiasa harus ingat bahwa
masyarakat itu harus terus berkembang, dinamis. Negara Indonesia akan terus
tumbuh berkembang seiring dengan perubahan zaman.
Menurut Padmowahyono, seluruh kegiatan
negara dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu :
1. Penyelenggara
kehidupan negara
2. Penyelenggara
kesejahteraan social
Berdasarkan pengertian-pengertian
tersebut diatas, maka sifat-sifat Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai
berikut:
1. Oleh
karena sifatnya tertulis maka rumusannya jelas, merupakan suatu hukum positif
yang mengikat pemerintah sebagai penyelenggara negara, maupun mengikat bagi
setiap warga negara.
2. Sebagaimana
tersebut dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa UUD 1945 bersifat
singkat dan supel, memuat aturan-aturanyaitu memuat aturan-aturan pokok yang
setiap kali harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman, serta memuat
hak-hak asasi manusia.
3. Memuat
norma-norma, aturan-aturan serta ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus
dilaksanakan secara konstitusional.
4. Undang-Undang
Dasar 1945 dalam tertib hukum Indonesia merupakan peraturan hukum positif yang
tertinggi, disamping itu sebagai alat control terhadap norma-norma hokum
positif yang lebih rendah dalam hierarkhi tertib hokum Indonesia.
3. Hukum Dasar yang Tidak Tertulis
(Convensi)
Convensi adalah hukum dasar yang tidak
tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan negara meskipun sifatnya tidak tertulis. Convensi ini mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut:
1. Merupakan
kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan
negara
2. Tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan berjalan sejajar.
3. Diterima
oleh seluruh rakyat
4. Bersifat
sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai aturan-aturan dasar yang tidak
dapat terdapat dalam Undang-Undang Dasar.
Contoh-contoh convensi antara lain
sebagai berikut:
1. Pengambilan
keputusan berdasarkan musyawarah mufakat. Menurut pasal 37 ayat (1) dan (4)
Undang-Undang Dasar 1945, segala keputusan MPR diambil berdasarkan suara
terbanyak. Akan tetapi sistem ini dirasa kurang jiwa kekeluargaan sebagai
kepribadian bangsa, karena itu dalam praktek-praktek penyelenggaraan negara
selalu diusahakan untuk mengambil keputusan berdasarkan musyawarah untuk
mufakat, dan ternyata hampir selalu berhasil. Pungutan suara baru ditempuh jika
usaha musyawarah untuk mufakat sudah tidak dapat dilaksanakan. Hal yang
demikian ini merupakan perwujudan dari cita-cita yang terkandung dalam Pokok
Pikiran Kerakyatan dan Permusyawaratan/Perwakilan.
2. Praktek-praktek
penyelenggaraan negara yang sudah menjadi hukum dasar tidak tertulis anatar
lain:
a. Pidato
kenegaraan Presiden Republik Indonesia setiap tanggal 16 Agustus di dalam
sidang Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Pidato
Presiden yang diucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara pada minggu pertama pada minggu bulan Januari
setiap tahunnya.
Contoh tersebut dalam batinya secara
tidak langsung adalah merupakan realisasi dari Undang-Undang Dasar (merupakan
pelengkap). Namun perlu digaris bawahi bilamana convensi ingin dijadikanmenjadi
rumusan yang bersifat tertulis, maka yang berwenang adalah MPR, dan rumusannya
bukanlah merupakan suatu hukum dasar melainkan tertuang dalam ketetapan MPR.
Jadi convensi bilamana dikehendaki untuk
menjadi suatu aturan dasar yang tertulis, tidak secara otomatis setingkat
dengan UUD, melainkan sebagai suatu ketetapan MPR.
4. Konstitusi
Disamping pengertian Undag-Undang Dasar,
dipergunakan juga istilah “Konstitusi”. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris
“Constitution”. Terjemahan dari istilah tersebut adalah Undang-Undang Dasar,
dan hal ini memang sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan Jerman, yang dalam
percakapan sehari-hari memakai kata “Grondwet” (Grond=dasar, wet=undang-undang)
yang keduanya menunjukkan naskah tertulis. Namun pengertian konstitusi dalam
praktek ketatanegaraan umumnya dapat mempunyai arti:
1. Lebih
luas daripada Undang-Undang Dasar atau
2. Sama
dengan pengertian Undang-Undang Dasar
Kata konstitusi dapat mempunyai arti
lebih luas dari pada pengertian Undang-Undang Dasar, karena pngertian
Undang-Undang Dasar hanya meliputi konstitusi tertulis saja, dan selain itu
masih terdapat konstitusi tidak tertulis yang tidak tercakup dalam
Undang-Undang Dasar.
konsesus sebagai kata kunci konstitusi
Konsensus yang menjamin tegaknya
konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga
elemen kesepakatan (consensus), yaitu:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau
cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the
same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law
sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of
government).
3. Kesepakatan tentang bentuk
institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of
institutions and procedures).
Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu
berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan
konstitusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada
puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan
di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah
pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk
menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan
tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai
falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai
filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara
sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.
Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang
dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila
atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan empat tujuan bernegara.
Lima prinsip dasar Pancasila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang
Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia;
(iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk
mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara, yaitu: (i) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan
kesejahteraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde-kaan, perdamaian yang abadi,
dan keadilan sosial.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan
bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi.
Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap
negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam
konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang
ditentukan bersama. Istilah yang biasa digunakan untuk itu adalah the rule of
law yang dipelopori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan
di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu The Rule of
Law, and not of Man untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang
sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau
orang.
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan
dengan bangunan organ Negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya,
hubungan-hubungan antar organ Negara itu satu sama lain, serta hubungan
organ-organ Negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan itu, maka
isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan
keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme
ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan bernegara yang
berkonstitusi (constitutional state).
EmoticonEmoticon