BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan”. (Pasal 1 butir 2 UU Nomor 8 tahun 1999. Menurut
Hornby, konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau
menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu
atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu
persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa.
Untuk mengatur hubungan
antara pelaku usaha dengan konsumen dan juga untuk melindungi konsumen dari
berbagai macam kemungkinan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku usaha, maka
disusunlah UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Dalam UU Nomor 8 Tahun
1999 terdapat aturan-aturan termasuk sanksi-sanksi yang ditujukan kepada pelaku
usaha. Aturan-aturan dalam UU ini ditujukan untuk melindungi konsumen dari
kejahatan pelaku usaha.
Menurut
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan
dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa
semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan
individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan
individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu
memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.
Berlakunya
asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas
kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat
perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang
tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan
paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya
sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan
kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud,
atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang
diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it) .
Menurut
hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan
pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya
mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,
pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas
untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan
pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal
1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjianjian dengan pihak
yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka
perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang
tidak cakap.
Di jaman yang tingkat
mobilitasnya sangat tinggi seperti saat ini para profesional, eksekutif muda,
pengusahawan, dan lainnya dituntut untuk bekerja ekstra cepat dan tanpa
mengenal waktu. Karena begitu padatnya jadwal yang mereka miliki, sehingga
mengakibatkan banyak hal-hal yang dapat dikatakan terbengkalai karena kesibukan
pekerjaan mereka tersebut dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu
orang-orang tersebut diatas membutuhkan bantuan dari para profesional lain
untuk menyelesaikan urusan-urusan pekerjaan yang tidak dapat mereka tangani
sendiri. Yang dimaksudkan dengan menyelenggarakan suatu urusan adalah melakukan
sesuatu perbuatan hukum, yaitu suatu perbuatan yang mempunyai akibat hukum.
Seseorang yang telah
diberikan kekuasaan atau wewenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum atas
nama orang lain atau orang yang telah memberikan kuasa, dapat dikatakan bahwa
ia mewakili si pemberi kuasa. Artinya bahwa apa yang dilakukan si penerima
kuasa adalah tanggungan dari si pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang
timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban orang
yang memberi kuasa.
Sebagaimana kita ketahui bersama, pemberian kuasa kepada si penerima kuasa akan menerbitkan suatu perwakilan, yaitu adanya seseorang yang diwakili kepentingan hukumnya dan seseorang yang mewakili orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
Sebagaimana kita ketahui bersama, pemberian kuasa kepada si penerima kuasa akan menerbitkan suatu perwakilan, yaitu adanya seseorang yang diwakili kepentingan hukumnya dan seseorang yang mewakili orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
Di dalam makalah ini
akan dibahas mengenai pemberian kuasa khususnya dalam hal pemberian kuasa
kepada Penasehat Hukum / Advocat/ Lawyer, dimana penerima kuasa ini bertugas
untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum yang dimiliki oleh si pemberi kuasa.
Makelar dan Komisioner
adalah orang-orang perantara dalam perniagaan. Dalam melaksanakan fungsi dan
wewenangnya, perlu adanya aturan-aturan mengenai Makelar dan Komisioner. Oleh
karena itu, dibuatlah aturan-aturan mengenai seluk beluk perdagangan termasuk
Makelar dan Komisioner dalam KUH Dagang.
KUH Dagang berisi
aturan-aturan mengenai perdagangan, pembukuan, perseroan termasuk pihak-pihak
sebagai perantaara dalam perniagaan, yakni agen, distributor,makelar dan
komisioner.
Dari latar belakang
diatas, penulis akan menjelaskan mengenai sanksi pidana bagi pelaku usaha dan
konsumen menurut UU Nomor 8 Tahun 1999, kebebasan berkontrak, surat pemberian
kuasa, KUH Dagang makelar dan komisioner.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sanksi pidana bagi pelaku usaha dan konsumen menurut UU Nomor 8 Tahun 1999 ?
2. Bagaimana
aturan tentang kebebasan berkontrak ?
3. Bagaimana
aturan mengenai surat pemberian kuasa ?
4. Bagaimana
penjelasan KUH Dagang mengenai Makelar ?
5. Bagaimana
penjelasan KUH Dagang mengenai komisioner ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
sanksi pidana bagi pelaku usaha dan konsumen menurut UU Nomor 8 Tahun 1999;
2. Mengetahui
aturan tentang kebebasan berkontrak;
3. Mengetahui
aturan mengenai surat pemberian kuasa;
4. Mengetahui
penjelasan KUH Dagang mengenai Makelar;
5. Mengetahui
KUH Dagang mengenai komisioner.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sanksi
Pidana bagi Pelaku Usaha Menurut UU Nomor 8 Tahun 1999
Dalam UU Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa bagi pelaku usaha yang
melanggar aturan terhadap konsumen maka dikenakan sanksi pidana. Menurut UU
Nomor 8 Tahun 1999, sanksi pidana yang dimaksud dijelaskan sebagai berikut :
1.
Pasal
61
Penuntutan pidana dapat dilakukan
terhadap pelaku usaha dan/ atau pengurusnya.
2.
Pasal
62
a. (Ayat
(1)) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Maksudnya adalah
yang melanggar yang dimaksud oleh pasal 62 ayat (1) adalah pelaku usaha yang
memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah,
ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana
yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8
ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8
ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2
), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen
dan/atau perjanjian ( pasal 18 ayat 1 huruf b ).
b. (Ayat
(2)) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11,
pasal 12, pasal 13 ayat (1), pasal 14, pasal 16, dan pasal 17 ayat (1) huruf d
dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Maksudnya adalah yang melanggar yang dimaksud pasal
62 ayat (2) adalah pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan
mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang
sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan
yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha
periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko
pemakaian barang/jasa.
c. (Ayat
(3)) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
3.
Pasal
63
Terhadap
sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa :
a. Perampasan
barang tertentu;
b. Pengumuman
keputusan hakim;
c. Pembayaran
ganti rugi;
d. Perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. Kewajiban
penarikan barang dari peredaran; atau
f. Pencabutan
izin usaha.
B.
Sanksi
Administratif dan Sanksi Perdata bagi Pelaku Usaha
1.
Sanksi
Administratif
Sanksi administratif bagi pelaku
usaha dijelaskan dalam pasal 60 UU Nomor 8 Tahun 1999 sebagai berikut
a. (Ayat
(1)) Badan penyelesaian sengketa konsumen menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar pasal 19ayat (2) dan ayat (3), pasal 20,
pasal 25 dan pasal 26.
b. (Ayat
(2)) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
c. (Ayat
(3)) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
2.
Sanksi
Perdata
Sanksi
perdata bagi pelaku usaha yang melanggar adalah ganti rugi dalam bentuk :
a. Pengembalian
uang atau
b. Penggantian
barang atau
c. Perawatan
kesehatan, dan/atau
d. Pemberian
santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang
waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
Dari
ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh
para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan
oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha
untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota
pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering
ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak
dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain
bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula
tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU
no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi
seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”
automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya,
masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini
peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman
klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara
penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang
tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas
bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku
usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda
paling banyakRp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya
aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu
bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para
pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang
merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya
bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu,
berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen
tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses
oleh pihak Kepolisian.
C.
Sanksi
Bagi Konsumen
Dalam UU Nomor 8 Tahun
1999 tidak dicantumkan tentang sanksi konsumen karena UU tersebut khusus dibuat
untuk melindungi konsumen. Namun, apabila konsumen melakukan pelanggaran
seperti penipuan, pencemaran nama baik dan lain-lain, maka hal tersebut termasuk
Wanprestasi, yaitu tidak
dilaksanakannya suatu perjanjian atau kewajiban sebagaimana yang telah
disepakati bersama (cidera janji). Apabila hal tersebut terjadi, maka produsen
atau pelaku usaha berhak untuk menuntut konsumen sesuai dengan pelanggaran yang
dilakukan konsumen. Tuntutan tersebut dapat berupa ganti rugi kepada pelaku
usaha sampai dengan hukuman pidana kurungan. Pelaku usaha juga memiliki hak
untuk mendapatkan kembali pemulihan nama baik usahanya.
D.
Kebebasan
Berkontrak
Menurut
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan
dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa
semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan
individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan
individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu
memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .
Berlakunya
asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas
kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat
perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang
tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan
paksa adalah Contradictio interminis.
Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh
pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju
mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri
pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take
it or leave it) . Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk
membuat perjanjian dengan pihak manapun yang
dikehendakinya.
Undang-undang
hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,
pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas
untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan
pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal
1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjianjian dengan pihak
yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka
perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang
tidak cakap. Larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk
tertentu yang dikehendakinya juga tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Indonesia maupun ketentuan perundang-undangan lainnya. Ketentuan yang
ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu
misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta notaris
atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa
suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas
untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu apakah perjanjian akan
dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah
tangan atau akta autentik.
Apabila
kita mempelajari KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya
bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH
Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak
terbatas. Pasal 1320 menentukan bahwa
1.
Ayat 1, perjanjian
atau, kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari
para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa
kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat
pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh
kesepakatan para pihak.
2.
Ayat 2, kebebasan orang
untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya. untuk membuat perjanjian.
Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat
perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian.
Menurut
pasal 1330, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah
pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan
110 menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk
melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
Namun
berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963
tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat
ini sudah tidak berlaku. Pasal 1320 (3) menentukan bahwa obyek perjanjian
haruslah dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian,
merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu
harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan
harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal
dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat
ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak,
jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. jika prestasi kabur atau
dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat
dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian
itu batal demi hukum .
Pasal
1320 ayat jo.1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat
perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-undang . Menurut
undang-undang causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh
undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa
perjanjian itu batal demi hukum. Mengenai obyek perjanjian diatur lebih lanjut dalam
pasal 1332 yang menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian maka menurut
pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomi saja yang dapat
dijadikan obyek perjanjian.
Kemudian
pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui
pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan
dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak
hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan
dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad
buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat
dibatalkan.
Sehubungan
dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak, Prof. Asikin Kusuma
Atmadja, dalam makalahnya menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk
memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan
pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 tidak
lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang
melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan
para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang
sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk
menyatakan kehendaknya.
Lebih
lanjut Prof. Asikin mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang murni/mutlak
karena para pihak kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis tidak ada, selalu
ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. Beliau mengilustrasikan dengan
suatu cerita lama yang mengandung moral yang ada kaitannya dengan tafsiran
perjanjian. Ada seorang gadis yang orang tuanya miskin dan mempunyai hutang
yang besar karena meminjam uang untuk menyekolahkan anak gadis tersebut. Kalau
hutangnya tidak segera dibayar maka satu-satunya harta berupa rumah dan
pekarangannya akan dilelang. Sang penolong yang mempunyai kekuasaan ekonomis
datang dan mengadakan perjanjian dengan orang tua gadis tersebut bahwa hutang
akan dilunasi asal gadis tersebut dikawinkan dengan anak lelaki sang penolong,
sedangkan anak gadis tersebut telah mempunyai tunangan. Kemudian terjadilah
perjanjian antara sang penolong dengan orang tua yang miskin tersebut. Apakah
aneh kalau orang tua miskin tersebut kemudian mengingkari janjinya. Moral
disini janganlah mencari kesempatan dalam kesempitan atau jangan
menyalahgunakan kesempatan . Dalam ilmu hukum moral tersebut di atas disebut misbruik van omstandigheden
(penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan
kesempatan dapat digunakan dalam kategori cacat dalam menentukan kehendaknya
untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan alasan untuk menyatakan batal
atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak diatur dalam Undang-undang
melainkan merupakan suatu konstruksi yang dapat dikembangkan melalui
Yurisprudensi. Sesuai dengan hukum, kebutuhan konstruksi penyalahgunaan kesempatan/keadaan
merupakan atau dianggap sebagai faktor yang membatasi atau yang mengganggu
adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua belah
pihak. Salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan
ekonomi (economish overwicht) pada salah satu pihak, yang menggangu
keseimbangan antara kedua belah pihak sehingga adanya kehendak yang bebas untuk
memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu
persetujuan tidak ada kehendak yang cacat.
Menurut
Prof. Z. Asikin yang penting ialah menciptakan beberapa titik taut yang
merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat
ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan sehingga mengganggu
keseimbangan antara pihak dan membatasi kebebasan kehendak pihak yang
bersangkutan untuk memberikan persetujuan. Disini terletak wewenang hakim untuk
menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum untuk melumpuhkan perjanjian yang
tidak seimbang .
Banyak
faktor yang dapat memberikan indikasi tentang adanya penyalahgunaan kekuasaan
ekonomi untuk dipertimbangkan oleh hakim. Kalau umpamanya ternyata ada
syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang
tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan (on redelijkecontractsvoorwaarden atau un faircontractterms), maka
hakim wajib memeriksa dan meneliti inconcreto faktor-faktor apa yang bersifat
tidak masuk akal, tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut.
Begitupula kalau nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan
tertekan (dwang positie), maka hakim wajib meneliti apakah inconcreto terjadi
penyalahgunaan ekonomis. selanjutnya juga kalau terdapat keadaan dimana bagi
debitur tidak ada pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat
yang memberatkan, terakhir dapat disebut keadaan dimana nilai dan hasil
perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi
timbal balik dari para pihak. Juga dalam hal ini hakim wajib meneliti apakah in
concreto terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis.
E.
Kontrak
Pemberian Kuasa
1.
Pengertian
Umum
Surat Kuasa adalah
surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus
sesuatu sedangkan Pemberian Kuasa (lastgeving, Bld) adalah pemberian kewenangan
kepada orang lain untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas nama si
pemberi kuasa.
Sesuai dengan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1792 yang dimaksud dengan
pemberian kuasa yaitu “suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan
kepada seseorang lain yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan
suatu urusan”.
Perlu dicermati dan
digarisbawahi dalam pengertian diatas adalah definisi menurut KUH Perdata,
dimana disitu terdapat kata-kata “menyelenggarakan suatu urusan” dan kata-kata
“untuk atas namanya” ditinjau dari sisi yuridis kata-kata “menyelenggarakan
suatu urusan” berarti bahwa disitu terdapat suatu perbuatan hukum yang akan
mengakibatkan akibat hukum tertentu sedangkan kata-kata “untuk atas namanya”
berarti adanya seserorang yang mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan
suatu perbuatan tertentu. Sehingga dapat diartikan bahwa orang yang menerima
kuasa dalam melakukan urusan tersebut adalah mewakili dan dalam hal ini berarti
si penerima kuasa berbuat untuk dan atas nama si pemberi kuasa, serta akan
menimbulkan hak dan kewajiban baik dari si pemberi kuasa maupun penerima kuasa
tersebut.
Berdasarkan pengertian
Pasal 1792 diatas maka unsur yang harus ada dalam sebuah pemberian kuasa
adalah, adanya persetujuan yang berisi pemberian kekuasaan kepada orang lain
dimana kekuasaan itu diberikan untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang
memberi kuasa. Dengan tetap berpegangan pada unsur tersebut maka dapat dilihat
antara pemberi kuasa dan penerima kuasa mempunyai hubungan seperti layaknya
atasan dan bawahan, karena penerima kuasa harus menjalankan tugas dari pemberi
kuasa. Kekuasaan yang dilimpahkan oleh pemberi kuasa adalah mutlak berasal dari
dirinya karena sangat mustahil pemberi kuasa dapat melimpahkan kekuasaannya
kepada si penerima kuasa tetapi kekuasaan tersebut merupakan milik orang lain.
Karena kekuasaan pemberi kuasa adalah mutlak, maka pemberi kuasa memiliki
kebebasan penuh untuk mencabut kekuasaan tersebut dari penerima kuasa.
2. Kewajiban-Kewajiban Penerima Kuasa
Hal ini diatur dalam
Pasal 1800 – 1806 KUH Perdata.
Sesuai dengan Pasal
1800 kewajiban terpenting yang harus dilaksanakan oleh si penerima kuasa adalah
melaksanakan kekuasaan yang dilimpahkan kepadanya oleh pihak yang memberikan
kuasa, selama pemberian kuasa tidak terhenti dalam hal-hal yang disebutkan
dalam Pasal 1813 dan seterusnya. Dan penerima kuasa bertanggung jawab atas
segala kerugian yang diderita sebagai akibat dari ketiadaan pelaksanaan
kekuasaan.
Apabila perjanjian
pemberian kuasa masih berlaku, si pemberi kuasa meninggal dunia, maka menurut
Pasal 1813 hal ini menyebabkan perjanjian pemberian kuasa berakhir. Akan tetapi
ayat 2 dari Pasal 1800 BW menentukan, apabila pada waktu si pemberi kuasa
meninggal dunia, si penerima kuasa sudah mulai melakukan tugasnya selaku kuasa,
maka ia diwajibkan untuk menyelesaikan tugasnya tersebut.
Menurut Pasal 1801 BW
si penerima kuasa tidak saja bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja tetapi penerima kuasa juga bertanggung jawab atas
kelalaian dalam menjalankan tugasnya.
Pasal 1802 BW mewajibkan si penerima kuasa untuk melaporkan kepada si pemberi kuasa tentang apa yang telah diperbuatnya dan memberikan perhitungan kepada si pemberi kuasa tentang segala apa yang telah diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun apa yang telah diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada si pemberi kuasa.
Pasal 1802 BW mewajibkan si penerima kuasa untuk melaporkan kepada si pemberi kuasa tentang apa yang telah diperbuatnya dan memberikan perhitungan kepada si pemberi kuasa tentang segala apa yang telah diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun apa yang telah diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada si pemberi kuasa.
3. Substitusi
Kuasa Substitusi adalah penggantian penerima
kuasa melalui pengalihan. Atau dengan kata lain bahwa Kuasa Substitusi adalah
Kuasa yang dapat dikuasakan kembali kepada orang lain.
Tanggung jawab Penerima
Kuasa substitusi dinyatakan dalam Pasal 1803 KUH Perdata yang menegaskan bahwa
“Si penerima kuasa bertanggung jawab atas orang yang telah ditunjuknya, sebagai
pengganti posisinya dalam melaksanakan kuasanya, yaitu diantaranya adalah :
a. Jika
ia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya
b. Jika
kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa penyebutan seorang tertentu,
sedangkan orang yang dipilihnya itu ternyata seorang yang tak-cakap atau tak
mampu.
Jadi jelas bahwa pasal
tersebut menghendaki apabila pengangkatan kuasa substitusi tidak diperbolehkan
atau tidak mendapat persetujuan dari Pemberi Kuasa (pemberi kuasa pertama kali
sebelum terbit kuasa substitusi) dan apabila pengangkatan kuasa substitusi
telah mendapat wewenang dari Pemberi Kuasa tanpa menentukan siapa orangnya,
ternyata orang tersebut tidak cakap atau tidak mampu maka hal tersebut menjadi
tanggung jawab dari Pemberi Kuasa substitusi.
4. Kewajiban-Kewajiban Pemberi Kuasa
Kewajiban dari pemberi
kuasa diatur dalam Pasal 1807 – 1812, dimana kewajiban dari pemberi kuasa
adalah sebagai berikut :
a. Pemberi
kuasa diwajibkan untuk memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima
kuasa menurut kekuasaan yang telah diberikan kepadanya.
Pemberi kuasa wajib untuk mengembalikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan si penerima kuasa selama ia diberikan kuasa untuk mengurus segala urusan-urusan yang dimiliki oleh si pemberi kuasa, serta si pemberi kuasa wajib untuk membayar upah kepada si penerima kuasa apabila hal ini telah diperjanjikan sebelumnya.
Pemberi kuasa wajib untuk mengembalikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan si penerima kuasa selama ia diberikan kuasa untuk mengurus segala urusan-urusan yang dimiliki oleh si pemberi kuasa, serta si pemberi kuasa wajib untuk membayar upah kepada si penerima kuasa apabila hal ini telah diperjanjikan sebelumnya.
b. Apabila
seorang penerima kuasa diangkat oleh lebih dari satu orang untuk mewakili suatu
urusan bersama maka orang-orang tersebut bertanggung jawab bersama atas segala
akibat dari pemberian kuasa itu kepada si penerima kuasa.
5. Kuasa Umum dan Kuasa Khusus
Kuasa dapat diberikan
dan diterima dalam suatu akte umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan
dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula
terjadi secara diam-diam sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 1793 BW.
Dari ketentuan ini dapat kita lihat bahwa pemberian kuasa itu adalah bebas dari
sesuatu bentuk cara (Formalitas) tertentu ; dengan perkataan lain, ia adalah
suatu perjanjian konsensual artinya sudah mengikat (sah) pada saat tercapainya
kata sepakat antara si pemberi dan penerima kuasa.
Kekuasaan atau wewenang
yang diberikan untuk melakukan perbuatan hukum atas nama orang lain itu dalam
bahasa belanda disebut “Volmacht”,
dalam bahasa inggris disebut “Power of
attourney”. Tidak semua perbuatan hukum dapat dikuasakan kepada orang lain,
misalnya saja dalam hal pembuatan surat wasiat (Testament) atau memberikan suara dalam rapat anggota suatu
perkumpulan.
Sesuai dengan Pasal
1794 Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma kecuali diperjanjikan sebaliknya.
Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas maka si
penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih dari pada yang ditentukan
dalam pasal 411 untuk seorang wali. Ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan
sudah usang karena berasal dari hukum romawi, yang dilahirkan dalam jaman
dimana orang-orang yang diberikan kuasa itu biasanya melakukan suatu jasa
dengan cuma-cuma untuk kepentingan seorang kawan.
Pemberian kuasa dapat
dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau
lebih, atau secara umum yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.
Untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, diperlukan pemberian kuasa khusus
yang menyebutkan perbuatan yang harus dilakukan, yaitu misalnya untuk menjual
sebuah rumah, untuk mencarikan seorang partner dalam usaha perdagangan, dan
lain sebagainya. Pemberian suatu kuasa umum hanya memberi kewenangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan pengurusan, misalnya terhadap perusahaannya si
pemberi kuasa untuk mengurus perusahaan itu dan sekali-kali tidak boleh menjual
perusahaan itu. Dengan sendirinya pemberian kuasa untuk mengurus sebuah toko,
meliputi kekuasaan untuk menjual barang-barang dagangan yang berada dalam toko
itu dan membeli stock baru, karena itu termasuk pengertian “mengurus” toko ;
yang tidak boleh adalah menjual tokonya.
Untuk mengajukan suatu
perkara gugatan di muka pengadilan, menurut pasal 123 HIR diperlukan suatu kuasa
khusus tertulis. Sifat khusus itu ditujukan pada keharusan menyebutkan nama
pihak yang digugat dan mengenai perkara apa. Kuasa tersebut dapat diberikan
secara lisan, apabila penggugat membawa orang yang akan diberi kuasa itu ke
depan sidang pengadilan, kemudian di depan sidang itu menyatakan kehendaknya
untuk memberikan kuasa kepada orang yang dibawanya itu untuk mengurus perkara
yang akan diperiksa.
Si penerima kuasa tidak
boleh melakukan sesuatu apapun yang melampaui kuasanya; kekuasaan yang
diberikan untuk menyelesaikan suatu urusan dengan jalan perdamaian, sekali-kali
tidak mengandung kekuasaan untuk menyerahkan perkaranya kepada putusan wasit.
6. Surat Kuasa
Banyak yang
memperdebatkan tentang surat kuasa, apakah perjanjian timbale balik atau
perjanjian sepihak.
Bila dikualifikasikan
sebagai perjanjian sepihak, maka penerima kuasa tak perlu menandatangani surat
kuasa. Bila sebagai perjanjian timbal-balik, maka penerima kuasa wajib
menandatangani surat kuasa, sebagaimana perjanjian pada umumnya.
Perdebatan ini terjadi
antara Todung Mulya Lubis cs dengan Panitera Mahkamah Konstitusi (MK) Ahmad
Fadlil Sumadi saat pendaftaran permohonan judicial review UU Pemilu Legislatif.
Disini menggambarkan adanya perbedaan interpretasi (penafsiran) mengenai surat
kuasa. Ahmad Fadlil meminta para advokat yang namanya tercantum sebagai
penerima kuasa untuk menandatangani surat kuasa, sedangkan Todung cs menilai
tanda tangan dari pemberi kuasa saja sudah cukup.
Pada dasarnya surat
kuasa memang dikualifikasikan sebagai perjanjian, sesuai dengan dasar
pengaturannya yang ada dalam Buku Ketiga KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek
voor Indonesie (BW) tentang perikatan. Di dalam Pasal 1792 BW disebutkan bahwa
“Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan
kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan
suatu urusan.
Di satu sisi ada yang
mempunyai pendapat, apabila surat kuasa dianggap sebagai perjanjian
timbal-balik, maka argumen Fadlil yang meminta penerima kuasa menandatangani
surat kuasa mungkin bisa dibenarkan. Namun, di satu sisi juga ada yang
beranggapan apabila surat kuasa dipandang sebagai perjanjian sepihak, penolakan
para advokat yang tak mau membubuhi tanda tangan di surat kuasa tersebut adalah
benar.
Kemudian Trimoelja,
yang merupakan konsultan hukum dan juga advocat memberikan argumennya mengenai
masalah ini, ia menjelaskan bahwa pemberian kuasa menurut teori hukum merupakan
perjanjian sepihak. Karena pada dasarnya, pihak yang memberikan kuasa
sewaktu-waktu dapat mencabut kembali tanpa perlu meminta persetujuan dari si
penerima kuasa.
Menurut Trimoelja,
harus dibedakan antara perjanjian timbal-balik dengan perjanjian sepihak.
“Perjanjian sewa-menyewa atau jual-beli adalah perjanjian timbal-balik makanya
harus ada tanda tangan kedua belah pihak, tetapi berbeda dengan kuasa, karena
perjanjian pemberian kuasa adalah suatu perjanjian hukum sepihak.
Mantan hakim agung M.
Yahya Harahap menerangkan pada dasarnya surat kuasa memang perjanjian hukum
sepihak. Surat kuasa masuk pada ruang lingkup perjanjian tertentu. “Tetapi
kalau seandainya dituangkan dalam kesepakatan, hal itu juga bisa dilakukan,
penerapannya tidak terlalu kaku”.
Kemudian timbul lagi
pertanyaan, apabila surat kuasa dikualifikasikan sebagai kesepakatan atau
perjanjian timbal-balik. Apakah pencabutan surat kuasa bisa dilakukan sepihak
oleh pemberi kuasa? Atau harus melewati gugatan perdata seperti pembatalan
perjanjian pada umumnya?
Dalam konteks
perjanjian timbal-balik, Pasal 1266 BW menyatakan bahwa pembatalan perjanjian
dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban, harus dimintakan
kepada hakim. Pada prinsipnya, syarat batal dalam suatu perjanjian dianggap
selalu tercantum dalam perjanjian.
M. Yahya Harahap
mengatakan bahwa banyak orang yang berpendapat secara strict atau kaku, kalau
kuasa itu merupakan perjanjian sepihak. Orang-orang yang berpendapat seperti
ini mendasarkan pada Pasal 1813-1819 BW yang menyatakan bahwa kuasa dapat
dicabut secara sepihak oleh si pemberi kuasa. “Tetapi seandainya perjanjian
pemberian kuasa itu dibuat dan ditandatangani oleh penerima kuasa, pencabutan
secara sepihak yang dilakukan pemberi kuasa pada dasarnya tidak bertentangan.
Karena undang-undang sendiri yang mengatakan bisa dicabut secara sepihak.
Di dalam surat kuasa,
telah disebutkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan oleh si
penerima kuasa dan apabila hal tersebut tidak dijalankan berarti si penerima
kuasa telah melakukan wanprestasi, oleh karena itu perjanjian pemberian kuasa
ini bisa dibatalkan, karena di dalam undang-undang sendiri yang menentukan bisa
dicabut secara sepihak oleh pemberi kuasa, maka dari itu boleh-boleh saja
dicabut secara sepihak oleh pemberi kuasa tanpa melewati proses gugat perdata.
Sedangkan Penulis buku
Hukum Perwakilan dan Kuasa, Rachmad Setiawan berpendapat sedikit berbeda. Dalam
bukunya, ia menjelaskan bahwa pengaturan tentang kuasa di KUHPerdata,
sebenarnya mengatur soal lastgeving yang terjemahan harfiahnya “pemberian beban
perintah”. Namun prakteknya, banyak sarjana hukum menerjemahkannya sebagai
pemberian kuasa. Perkembangan hukum di negeri asal nya KUHPerdata (Belanda)
sendiri – melalui Nieuw BW, sebuah kitab revisi atas BW – telah membedakan
antara kuasa dan lastgeving.
Pada prinsipnya,
lastgeving berbeda dengan pemberian kuasa. Lastgeving merupakan perjanjian
pembebanan perintah yang menimbulkan kewajiban bagi si penerima kuasa untuk
melaksanakan kuasa. Sedangkan kuasa merupakan kewenangan mewakili.
Rachmad setiawan
mengatakan bahwa lastgeving bersifat timbal-balik sedangkan kuasa atau volmacht
hanya sepihak. Menurut pendapatnya “Kuasa kepada lawyer itu lastgeving”. Karena
bersifat timbal-balik, maka menurutnya lastgeving kepada advokat tidak bisa
seenaknya saja ditarik. “Kuasanya bisa ditarik secara sepihak. Tapi untuk
perjanjiannya tidak bisa ditarik sepihak, harus ada pembayaran ganti rugi dan
semacamnya”.
7. Cara – Cara Berakhirnya Pemberian
Kuasa
Mengenai cara – cara
berakhirnya pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1813 – 1819 BW, sesuai dengan
1813 – 1819 KUHPerdata ada beberapa cara untuk mengakhiri Perjanjian Pemberian
Kuasa, antara lain :
a. Penerima
Kuasa menghentikan kuasa yang diberikan kepadanya;
b. Pemberi
atau penerima kuasa, salah satu atau keduanya meninggal dunia;
c. Pemberi
atau penerima kuasa, salah satu atau keduanya berada di bawah pengampuan;
d. Pemberi
Kuasa menarik kembali kuasanya;
e. Penerima
Kuasa dalam keadaan pailit;
f. Perjanjian
pemberian kuasa berakhir dengan adanya perkawinan antara Pemberi dan Penerima
Kuasa.
F.
Makelar
Menurut KUH Dagang
Pasal 62, Makelar adalah pedagang perantara yang diangkat oleh
Gubernur Jenderal (dalam hal ini Presiden) atau oleh penguasa yang oleh
Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka
menyelenggarakan perusahaan
mereka dengan melakukan pekerjaan seperti yang dimaksud dalam pasal 64 dengan
mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain
yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap.
Sebelum diperbolehkan melakukan
pekerjaan, mereka harus bersumpah di depan raad van justitie di mana Ia termasuk
dalam daerah hukumnya, bahwa mereka akan menunaikan kewajiban yang dibebankan
dengan jujur. (KUHPerd. 1078; KUHD 59, 71 dst., 681; S. 1920-69.)
Aturan tentang makelar diatur dalam KUH Dagang Pasal 62
sampai dengan pasal 73 yang berbunyi sebagai berikut :
1.
Pasal 62.
Makelar adalah
pedagang perantara yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (dalam hal ini
Presiden) atau oleh penguasa yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu.
Mereka
menyelenggarakan perusahaan
mereka dengan melakukan pekerjaan seperti yang dimaksud dalam pasal 64 dengan
mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain
yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap.
Sebelum
diperbolehkan melakukan pekerjaan, mereka harus bersumpah di depan raad van
justitie di mana Ia termasuk dalam daerah hukumnya, bahwa mereka akan
menunaikan kewajiban yang dibebankan dengan jujur. (KUHPerd. 1078; KUHD 59, 71
dst., 681; S. 1920-69.)
2.
Pasal 63
Perbuatan-perbuatan para pedagang
perantara yang tidak diangkat dengan cara demikian tidak mempunyai akibat yang
lebih jauh daripada apa yang ditimbulkan dari
perjanjian
pemberian amanat. (KUHPerd. 389, 1155, 1792 dst.; KUHD 67 dst.)
3.
Pasal 64.
Pekerjaan makelar terdiri dari
mengadakan pembelian dan penjualan untuk majikannya atas barang-barang
dagangan, kapal-kapal, saham-saham dalam dana umum dan efek tainnya dan
obligasi, surat-surat wesel, surat-surat order dan surat-surat dagang tainnya,
menyelenggarakan diskonto, asuransi, perkreditan dengan jaminan kapal dan pemuatan
kapal, perutangan uang dan lain sebagainya. (KUHPerd. 1078; KUHD 62, 681 dst.)
4.
Pasal 65.
Pengangkatan makelar adalah umum, yaitu
dalam segala bidang, atau dalam akta pengangkatan
disebutkan bidang atau bidang-bidang apa saja pekerjaan makelar itu boleh
dilakukan.
Dalam bidang atau bidang-bidang di mana
ia menjadi makelar, Ia tidak diperbolehkan berdagang, baik sendiri maupun
dengan perantaraan pihak lain, ataupun bersama-sama dengan pihak-pihak lain,
ataupun secara berkongsi, ataupun menjadi penjamin perbuatan-perbuatan yang
dilakukan dengan perantaraan mereka. (KUHD 62, 64, 71 dst.; KUHPerd. 1468 dst.)
5.
Pasal 66.
Para makelar
diwajibkan untuk segera mencatat setiap perbuatan yang dilakukan dalam
buku-saku mereka, dan selanjutnya setiap hari memindahkannya ke dalam
buku-harian mereka, tanpa bidang-bidang kosong, garis-garis sela, atau
catatan-catatan pinggir, dengan menyebutkan dengan jelas nama-nama pihak-pihak
yang bersangkutan, waktu perbuatan atau waktu penyerahan, sifatnya, jumlahnya
dan harga barangnya, dan semua persyaratan perbuatan yang dilakukan. (KUHD 6.)
6.
Pasal 67.
Para
makelar
diwajibkan untuk memberikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan setiap waktu
dan begitu mereka ini menghendaki, petikan-petikan dari buku mereka yang berisi
segala sesuatu yang mereka catat berkenaan
dengan perbuatan yang menyangkut pihak tersebut. (KUHD 12.)
Hakim dapat memerintahkan para makelar
untuk membuka buku-bukunya di hadapan pengadilan untuk mencocokkan
petikan-petikan yang dikeluarkan dengan aslinya, dan mereka dapat menuntut
pewelasan tentang itu. (KUHPerd. 1905.)
7.
Pasal 68.
Bila perbuatannya tidak seluruhnya
dipungkiri, maka catatan-catatan yang dipindahkan oleh makelar dari
buku-sakunya ke buku
hariannya
merupakan bukti antara pihak-pihak yang bersangkutan mengenai waktu,
dilakukannya perbuatan dan penyerahannya, mengenai sifat-sifat danjumlah barangnya, mengenai harga
beserta syarat-syaratnya yang menjadi dasar pelaksanaan perbuatan itu. (KUHD
66.)
8.
Pasal 69.
Bila tidak dibebaskan oleh pihak-pihak
yang bersangkutan, maka para makelar harus menyimpan contoh dari tiap-tiap
partai barang yang telah dijual atas dasar contoh dengan perantaraan mereka,
hingga pada waktunya terselenggara penyerahan, dengan dibubuhi catatan yang
cukup untuk mengenalinya.
9.
Pasal 70.
Setelah menutup jual-beli surat wesel
atau efek lain semacam itu yang dapat diperdagangkan, makelar menyerahkannya
kepada pembeli, bertanggung
jawab atas kebenaran tanda tangan penjual yang ada di atasnya. (KUHD 65, 100,
110-113, 178, 187, 506 dst.)
10. Pasal 71.
Para makelar
yang bersalah karena melanggar salah satu ketentuan yang diatur dalam bagian
ini, sejauh mengenai mereka, akan dihentikan sementara dari tugasnya oleh
kekuasaan umum yang mengangkat mereka, menurut keadaan, atau dihentikan dari
jabatannya, dengan tidak mengurangi hukuman-hukuman yang ditentukan untuk itu,
demikian pula penggantian biaya-biaya, kerugiankerugian dan bunga-bunga yang
menjadi kewajibannya sebagai penerima amanat. (KUHPerd. 1801, 1803; KUHD 62, 65
dst., 69.)
11. Pasal 72.
Seorang makelar dihentikan sementara
dari tugasnya oleh keadaan pailit, dan kemudian dapat dihentikan dari
jabatannya oleh hakim.
Dalam hal pelanggaran larangan yang
termuat dalam pasal 65 alinea kedua, seorang makelar yang telah dinyatakan
pailit, harus dipecat dari jabatannya. (KUHD 62, 71.)
12. Pasal 73.
Makelar yang telah dihentikan dari
jabatannya tak dapat sama sekali dikembalikan ke dalam jabatannya. (KUHD 71
dst.)
Makelar
mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu:
1. Makelar
harus mendapat pengankatan resmi dari pemerintah(c.q menteri kehakiman)- (pasal
62 ayat 1);
2. Sebelum
menjalankan tugasnya, makelar harus bersumpah dimuka ketua pengadilan negeri,
bahwa dia akan menjalakan kewajibannya dengan baik ( pasal 62 ayat (2));
3. Mengenai
makelar ini diatur dalam KUHD, buku 1 pasal 62 sampai 73 dan menurut pasal 62
ayat (1) makelar mendapatkan upahnya yang disebut provisi atau courtage;
Sebagai perantara atau
pembantu pengusaha, makelar mempunyai hubungan yang tidak tetap dengan
pengusaha. Hubungan ini adalah sama halnya dengan pengacara, tetapi lain dengan
hubungan antara agen perusahaan dengan pengusaha. Adapun sifat hukum dari hubungan
tersebut adalah campuran, yaitu sebagai pelayanan berkala dan pemberian kuasa.
Hubungan ini tidak sama
halnya dengan pengacara, tetapi lain dengan hubungan antara agen perusahaan
dengan pengusaha. Adapun sifat hukum dari hubungan tersebut adalah campuran
yaitu sebagai pelayan berkala dan pemberian kuasa. Makelar dan agen perusahaan
kedua-duanya berfungsi sebagai wakil pengusaha terhadap pihak ketiga. Akan
tetapi, antara keduanya terdapat perbedaan pokok dilihat dan segi:
1. Hubungan
dengan pengusaha: makelar mempunyai hubungan tidak tetap, sedangkan agen
perusahaan mempunyai hubungan tetap.
2. Bidang
usaha yang dijalankan: makelar dilarang berusaha dalam bidang mana dia diangkat
dan dilarang menjadi penjamin dalam perjanjian yang dibuat dengan
pengantaraannya, sedangkan agen perusahaan tidak dilarang.
3. Formalitas
menjalankan perusahaan: makelar diangkat oleh Menteri Kehakiman dan disumpah,
sedangkan agen perusahaan tidak. Akan tetapi, sekarang formalitas ini tidak
relevan lagi.
Menurut pasal 65 ayat
(2), makelar dilarang untuk:
1. Berdagang
dalam lapangan perusahaan,dimana dia diangkat;
2. Menjadi
penjamin dalam perjanjian yang dubuat dengan perantaraanya.
Menurut Polak larangan
tersebut diatas selalu dilanggar dengan tidak berakibat buruk bagi makelar. Itu
sebabnya Mr. Heemskerk, Minister van Justitie Nederland mengajukan Rencana
Undang-Undang tentang perubahan peraturan-peraturan mengenai Makelar. Dalam
rencananya, makelar dijadikan pekerjaan bebas. Rencana tersebut diterima
parlemen dengan perubahan-perubahan dan tidak berlaku bagi Indonesia.
G. Komisioner
Komisioner menurut pasal 76 KUH Dagang adalah orang yang
menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perjanjian-perjanjian atas
namanya sendiri atau firmanya, dan dengan mendapat upah atau provisi tertentu,
atas order dan atas beban pihak lain.
Aturan tentang Komisioner diatur dalam KUH Dagang Pasal 76
sampai dengan pasal 83 yang berbunyi sebagai berikut :
1.
Pasal 76.
Komisioner adalah orang yang
menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perjanjian-perjanjian atas
namanya sendiri atau firmanya, dan dengan mendapat upah atau provisi tertentu,
atas order dan atas beban pihak lain. (KUHPerd. 1792 dst.; KUHD 6 dst, 62, 79,
85a.)
2.
Pasal 77.
Komisioner tidak berkewajiban untuk
memberitahukan kepada orang dengan siapa ia bertindak tentang yang menanggung
beban tindakannya itu.
Ia langsung bertanggungjawab terhadap
sesama rekan dalam perjanjian seolah-olah tindakan itu urusannya sendiri.
(KUHPerd. 1802; KUHD 78, 85a, 240, 262.)
3.
Pasal 78.
Pemberi amanat tidak mempunyai hak
tagihan terhadap pihak dengan siapa komisioner bertindak, seperti halnya pihak
yang bertindak dengan komisioner tidak dapat menuntut pemberi amanat. (KUHPerd.
1799.)
4.
Pasal 79.
Akan tetapi bila seorang komisioner
telah bertindak atas nama pemberi amanat, maka hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya, juga terhadap pihak ketiga, diatur oleh
ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam Bab "Pemberian
Amanat".
Ia tidak mempunyai hak mendahului
seperti dimaksud dalam pasal-pasal berikut. (KUHPerd. 1792 dst., 1812; KUHD 80
dst.)
5.
Pasal 80.
Untuk tagihan-tagihan terhadap pemberi
amanat sebagai komisioner, demikian pula dalam hal uang yang telah dibayarkan
lebih dahulu, bunga-bunga, biaya-biaya dan provisi-provisi, demikian juga untuk
perikatan-perikatannya yang masih berjalan, komisioner mempunyai hak mendahului
atas barang-barang yang telah dikirim kepadanya oleh pemberi amanat untuk
dijual, atau untuk disimpan sampai penentuan lebih lanjut, atau yang telah
dibeli olehnya untuk pemberi amanat dan telah diterimanya, selama barang-barang
itu masih ada dalam kekuasaannya.
Hak mendahului ini mengalahkan
segala hak lainnya, kecuah dari pasal 1139-1 dari Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. (KUHPerd. 1134, 1139-41, 51 dan 7'; KUHD 81 dst., 85, 85a.)
6.
Pasal 81.
Bila barang-barang yang dimaksud dalam
pasal 80 dijual dan diserahkan atas nama pemberi amanat, maka komisioner
membayar pada dirinya sendiri jumlah tagihan-tagihannya yang ada hak
mendahuluinya menurut pasal tersebut, yang diambilkan dari hasil penjualannya.
(KUHPerd. 1425 dst.; KUHD 85a.)
7.
Pasal 82.
Bila pemberi amanat telah mengirimkan
barang-barang kepada komisioner, dengan amanat untuk menyimpannya sampai
ketentuan lebih lanjut atau membatasi kekuasaan komisioner untuk menjualnya,
atau bila amanat untuk menjualnya sudah dihapus, dan yang disebut pertama tidak
memenuhi tagihan-tagihan komisioner terhadapnya yang diberi hak mendahului oleh pasal 80,
maka dengan memperlihatkan surat-surat bukti yang perlu, atas surat permohonan
sederhana komisioner dapat memperoleh izin dari raad van justitie tempat
tinggalnya untuk menjual barang-barang itu seluruhnya atau sebagian dengan cara
yang ditentukan dalam surat keputusan hakim.
Komisioner tersebut berkewajiban untuk
memberitahukan kepada pemberi amanat baik tentang permohonan izin itu, maupun
tentang penjualan yang telah terjadi berdasarkan izin itu paling lambat hari
berikutnya, bila tiap-tiap hari ada pos ataupun telegrap, atau kalau tidak
demikian, dengan pos pertama yang berangkat. Pemberitahuan
dengan telegrap atau dengan surat tercatat berlaku sebagai pemberitahuan yang
sah. (KUHPerd. 1366 dst.)
8.
Pasal 83.
Seorang komisioner yang untuk pemberi
amanat telah membeli barang-barang dan menerimanya, dapat diberi kuasa oleh
raad van justitie tempat tinggalnya dengan cara seperti ditentukan dalam pasal
di atas untuk menjual barangbarang itu, bila pemberi amanat tidak memenuhi
tagihan-tagihan komisioner itu terhadapnya dan yang menurut pasal 80 diberi hak
mendahului.
Alinea terakhir pasal 82 berlaku
terhadap hal ini. (KUHD 81, 85a.)
9.
Pasal 84.
(s.d.u. dg. S. 1906-348.) Dalam hal
pailitnya pemberi amanat, maka ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 56, 57 dan
58 peraturan kepailitan mengenai pihak pemegang gadai atau pihak yang berutang
berlaku bagi dan terhadap komisioner,
Penundaan pembayaran yang diberikan
kepada pihak pemberi amanat tidak menjadi halangan baginya untuk menggunakan
wewenang-wewenang yang diberikan kepadanya oleh pasal-pasal 81, 82 dan 83.
10. Pasal 85.
Pemberian wewenang-wewenang tersebut
dalam pasal 81, 82 dan 83 sama sekali tidak mengurangi hak menahan yang
diberikan kepada komisioner oleh pasal 1812 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
(KUHD 76-79.)
11. Pasal 85a.
(s.d.t. dg. S. 1938-276.) Bila seseorang
atas namanya sendiri atau firmanya dan dengan mendapat upah atau provisi
tertentu, atas order dan atas beban orang lain, mengadakan perjanjian tanpa
menjadikannya sebagai perusahaan, maka terhadapnya bertaku juga pasal-pasal 77,
78, 80 sampai dengan 85, 240 dan 241. (KUHD 6 dst., 76; KUHPerd. 1792, 1794.)
Adapun
ciri-ciri khas komisioner adalah :
1.
Tidak ada syarat pengangkatan resmi dan
penyumpahan sebagai halnya makelar;
2.
Komisioner menghubungkan komiten dengan
pihak ketiga atas namanya sendiri (pasal 7);
3.
Komisioner tidak berkewajiban untuk
menyebut namanya komiten (pasal 77 ayat (1)). Dia di sini menjadi pihak dalam
perjanjian(pasal 77 ayat (2));
4.
Tetapi komisioner juga dapat bertindak
atas nama pemberi kuasanya (pasal 79). Dalam hal ini maka dia tunduk pada
bab xvi, buku iii KUH Perdata tentang pemberian kuasa, mulai pasal
1972 dan seterusnya.
Sebagai
pelaksana perintah, komisioner harus memberikan pertanggungjawababan segera
mungkin kepada komitmen setelah selesai melaksanakan tugasnya (pasal 1802 bw).
Dalam pertanggung jawaban itu, komisioner dapat memberitahukan kepada komitmen
dengan siapa dia mengadakan perjanjian. Hal ini erat hubungannya dengan
kewajiban komitmen untuk membiayai pelaksanaan perjanjian yang dibuat dengan
pengantaraan komisioner (pasal 1807 bw). Tetapi jika komisioner menjaminsecara
khusus pemenuhan perjanjian itu, dia tidak perlu memberitahukan kepada komiten
nama pihak lawan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi,
segala sesuatu mengenai sanksi pidana bagi pelaku usaha dan pelaku usaha,
kebebasan berkontrak, surat pemberian kuasa, makelar dan komisioner telah
diatur sedemikian rupa agar segala sesuatu yang berhubungan dengan materi
diatas dapat dilaksanakan sesuai aturan dan agar pelaksanaan perniagaan dan
lain-lain sesuai dengan materi diatas dapat berjalan dengan aman, nyaman dan
tertib.
B. Saran
Marilah
kita taati setiap aturan yang telah dibuat oleh pihak yang membuatnya agar
segala aktivitas kita dapat dilaksanakan dengan aman, nyaman dan tertib sesuai
dengan aturan yang berlaku.
DAFTAR
PUSTAKA
Kartika S,Elsi dan
Advendi.Hukum Dalam Ekonomi (Edisi II Revisi).Grasindo Bpk. Arus Akbar
Silondae, SH., L.L.M. dan Ibu Andi Fariana, S.H., M.H. Aspek Hukum dalam
Ekonomi & Bisnis. Mitra. Wacana Media.
Fuady, Munir,
2008, Pengantar Hukum Bisnis”Menata
Bisnis Modern Di Era GlobaL”. Bandung: Pt Citra Aditya Bakti.
Muhammad , Abdulkadir.
2010, Hukum Perusahaan Indonesia.
Bandung: Pt Citra Aditya Bakti.
Purwosutjipto. 1999. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1
Pengetahuan Dasar Umum. Jakarta: Jambatan.
Saliman, R Abdul. 2005. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori Dan
Contoh Kasus. Jakarta: Kencana.
EmoticonEmoticon